Agustus 05, 2014

Chapter 06 : Ini Bukan Hati Yang Terbakar, Tapi Masa Depan Yang Tampak Diragukan

Jam 2 dini hari jadi momen tak terlupakan buat Irwan. Gue tahu ini berat buat sobat gue ini, tapi mau gimana juga, semua ini sudah takdir yang diatas. 
“sabar yah bro.” Gue coba peluk Irwan. Pelukan seorang sahabat yang ingin menguatkan hati sahabatnya. 
“semuanya ludes sob. Semuanyaaa.. “ Irwan kembali menitikkan air mata. Tangisnya membeludak. Disitu juga ada pipi dan Della. Mereka juga terenyuk haru melihat kejadian ini, apalagi Della, gue tahu banget perasaan adek gue itu ke Irwan. Dan saat musibah seperti ini, gue rasa Della adalah orang yang paling bisa merasakan kesedihan sahabat gue itu. 

“yang paling penting, elo dan mami loe selamat wan. Itu sudah anugrah dari Tuhan. Harta mudah-mudahan bisa kita cari lagi, bisa kita kejar lagi.” Beberapa untaian kata ini keluar dari mulut gue bersama raut yang serius. 
Yah, emang musibah kebakaran selalu menyisakan sedih, tangis, dan keterpurukkan. Tapi gue rasa, nggak satupun orang didunia ini mau dapet musibah itu, tak terkecuali Irwan. Kebakaran ini melalap rumahnya habis-habisan. Si jago merah itu menghitamkan seluruh dinding rumah dua tingkatnya. Sedih memang, apalagi hanya dia dan keluarga seorang yang mengalami musibah ini. bukan gue mau doain tetangganya juga ikutan kebakar rumahnya. 

Tapi, menurut gue memandang musibah ini, pasti sakit banget rasanya hanya rumah kita doang yang kena kebakaran, sedang yang lain nggak, siapa orang yang mau berbagi sedih sama-sama, atau menangis bareng-bareng meratapi puing-puing rumah. Belum lagi pikiran soal mengungsi. Apakah mau pasang tenda darurat untuk mengungsi sekeluarga doang. Gue pikir hal itu sulit dilakukan, terlebih gue tahu Irwan dan maminya hanya tinggal mandiri dikota Bandung ini tanpa sanak saudara. Gue tahu family mereka masih menetap di Padang

“loe yang sabar yah sob.” Gue kembali mengulang kata-kata gue sambil menepuk pundak Irwan
Kebakaran akibat arus pendek listrik ini seketika menghanguskan seisi rumah Irwan dan maminya. Selang 2 jam kejadian ini, dinding-dinding rumah serupah tembok yang dilumuri aspal hitam. Semua kelihatan tak layak dilihat lagi, apalagi buat dihuni. Memang lantai 2 rumahnya tidak separah lantai dasar. Tapi, haruskah mereka tinggal dalam kondisi seperti ini. yang bikin ngenes lagi, alat-alat chatering mami Irwan juga ikut dilalap api. Saat semuanya sudah kondusif. Barang-barang yang masih bisa diangkut, gue coba menatanya lagi bersama Irwan

“sudah nggak apa-apa loe dan mami loe tinggal sementara dirumah gue sampe kondisinya kembali seperti semula. Iya kan pi? “ gue melirik papi gue. 
“iya pasti. Nggak masalah sekali buat kami. Nak Irwan juga mbak Tina sudah seperti keluarga bagi kita. Jadi sudah kewajiban kami membantu kalian.” Ungkap papi gue. 
Gue haru mendengar kata-kata itu. Gue nggak nyangka, papi gue yang doyan kentut dan ngupil sembarangan ini juga bisa berkata-kata bijak. Gue salut banget. 
“makasih banyak yah mas ben. Saya janji nggak akan lama-lama. Tuhan masih sayang dengan saya dan anak saya. Untungnya saya menyimpan uang di bank, dan rumah ini juga sudah saya asuransikan, jadi saya sedikit tenang. Saya juga nanti akan telpon saudara saya di Padang untuk meminta bantuan mereka sedikit. Pokoknya saya berterima kasih sekali mas.” Raut wajah penuh keharuan gue rasakan dari wajah tante Tina ini. Pipi gue hanya membalasnya dengan senyum ikhlas. 

Bangga banget dah rasanya punya keluarga kayak gini, punya rasa tolong-menolong yang tinggi. Semoga selamanya akan seperti ini, tidak ada yang berubah, bahkan jika nantinya gue punya mami baru, gue harep pipi tetep jadi pipi gue yang the best. Hopely. H.hehe

0 comments:

Posting Komentar

Gimana abis ngebaca chapter ini,
Bagus, jelek, lucu, kurang lucu, menarik atau biasa aja?
cantumkan komentar kalian yah.
No SARA